Hasil referendum masyarakat Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa mengejutkan dunia. Dengan kemenangan tipis 51,9 persen dukungan untuk memisahkan diri, Inggris untuk pertama kalinya dalam sejarah Uni Eropa akan menjadi negara yang memisahkan diri dari organisasi tersebut.
Perpecahan ini menunjukkan pada dunia bahwa organisasi regional sesolid Uni Eropa pun pada akhirnya mampu terpecah. Hal ini sungguh ironis mengingat selama ini Uni Eropa selalu menjadi rujukan sebagai contoh organisasi regional yang ideal bagi organisasi-organisasi kawasan lainnya.
Apabila organisasi sebesar dan sesolid Uni Eropa mampu terpecah belah, lantas bagaimana dengan ASEAN yang berusia relatif lebih muda? Mengingat, selama ini progres ASEAN selalu dibandingkan dengan pencapaian-pencapaian yang telah diraih Uni Eropa. Apakah dengan sejarah keluarnya Inggris juga mampu membuka celah bagi perpecahan di Asia Tenggara?
Untuk melihat fenomena ini, poin pertama yang perlu dilihat adalah dari aspek sejarah pembentukan Uni Eropa. Organisasi ini berangkat dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi (European Economic Community), lalu berubah menjadi European Community sebelum akhirnya berubah nama menjadi European Union atau Uni Eropa.
Di sini, terlihat transisi yang dimulai dari kerja sama ekonomi yang kemudian meningkat menjadi integrasi politik kawasan. Inggris yang pada awalnya bergabung karena alasan ekonomi, mulai terlihat berlawanan arah ketika arus integrasi politik kawasan terus berembus dalam Uni Eropa.
Hal ini terutama terlihat dari keengganan Inggris untuk ikut mengintegrasikan sistem mata uangnya dengan euro sebagai mata uang tunggal Uni Eropa. Selain itu, Inggris juga menolak bergabung dalam Schengen Area yang mengintegrasikan batas teritorial negara-negara Eropa untuk kebebasan lintas batas masyarakat di dalamnya.
Hal sebaliknya terjadi pada ASEAN. Di awal pembentukannya, ASEAN lebih didorong oleh kepentingan integrasi politik dibandingkan sektor lainnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ASEAN terbentuk karena dorongan memproteksi diri dari penyebaran ideologi komunis pada era Perang Dingin.
ASEAN baru terlihat serius untuk mengembangkan proses integrasi di bidang lainnya setelah Perang Dingin selesai yang juga diikuti oleh dimasukkannya Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja yang pada era sebelumnya berideologi sosialis. Bahkan, Vietnam dan Laos pun masih mempertahankan ideologi sosialisnya dan mampu hidup berdampingan dengan negara ASEAN lainnya.
Integrasi politik inilah yang membuat ASEAN cenderung akan lebih kuat bertahan mengingat ikatan hubungan yang terbentuk akan lebih kuat dan mengikat.
Poin kedua yang perlu diperhatikan adalah sistem organisasi yang dianut organisasi ini. Uni Eropa terkenal akan sistem supranasionalnya, yaitu sistem organisasi yang memiliki kekuasaan di atas negara anggotanya. Hal ini terlihat dari susunan organisasi Uni Eropa yang memang diposisikan sebagai ‘pemerintahan di atas negara’ yang mampu menekan negara anggotanya untuk mengimplementasikan kebijakan bersama.
Oleh karena itu, organisasi ini dengan mudah mendorong proses integrasi kawasan Eropa, baik dalam masalah perdagangan, moneter, hingga masalah perbatasan yang merupakan kebalikan dari kepentingan Inggris.
Hal ini berbeda dengan ASEAN yang lebih memilih untuk menjalankan sistem intergovernmental. Sistem ini memosisikan negara anggota secara sejajar dan organisasi hanya sebagai wadah menjalankan hasil kesepakatan bersama anggotanya.
Di sini, tiap negara diposisikan sejajar dan kesepakatan tidak akan terwujud apabila ada satu saja yang menolak. Di satu sisi, bentuk organisasi ini dianggap mampu menjaga eksistensi ASEAN mengingat tidak ada satu negara yang merasa dikesampingkan.
Walau, memang di sisi lain tidak dapat dimungkiri bahwa model sistem ini akan membuat progres perkembangan ASEAN berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan organisasi yang memilih sistem supranasional. Setidaknya, hal inilah yang dianggap mampu menyelamatkan ASEAN dari disintegrasi kawasan.
Hal tersebut belum termasuk prinsip ASEAN-Way yang dijalankan ASEAN. Prinsip ini dikenal atas prinsip non interference atau tidak mencampuri urusan domestik negara anggota lainnya. Dengan begitu, ketegangan antarnegara kawasan mampu diminimalisasi.
Prinsip ini merupakan warisan dari awal pembentukan ASEAN di masa Perang Dingin untuk mencegah perluasan dampak instabilitas politik ke kawasan, tapi tetap dipertahankan hingga saat ini. Di satu sisi, banyak kritik yang menganggapnya sudah tidak relevan karena interkonektivitas yang mendalam antarnegara, tapi di satu sisi hal ini juga dianggap mampu menjaga negara anggotanya tetap bertahan di bawah payung ASEAN.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa merupakan peringatan bagi organisasi kawasan lainnya bahwa tidak selamanya ikatan tersebut akan menjamin keutuhan kawasan. Begitu pula, bagi ASEAN yang mana masih memiliki disparitas yang tinggi antarnegara anggotanya.
Meski begitu, dari awal pembentukannya ASEAN sudah didesain untuk mengakomodasi perbedaan tersebut. Memang, jalan yang yang dipilih ASEAN merupakan jalan yang jauh lebih panjang untuk menuju ke posisi Uni Eropa.
Namun, untuk saat ini, jalan inilah yang dianggap terbaik untuk menghindari perpecahan kawasan. Meski begitu, ASEAN tetap perlu menjaga kesolidan dan kerja sama kawasan guna menjaga integritas kawasan dan segala keuntungan yang didapat dari integrasi tersebut.