Demokrasi masih menjadi mimpi bagi sebagian rakyat Malaysia. Mimpi tersebut terus diusahakan melalui sejumlah gelombang aksi. Terakhir, pendemo yang tergabung dalam aksi Bersih 5.0 menyampaikan tuntutan yang jelas: Najib Razak harus mundur dan lakukan demokratisasi. Prinsip demokrasi menjadi tuntutan tertinggi demonstran untuk mewujudkan pemerintahan yang adil, transparan, plural, dan bersih dari korupsi. Pertanyaannya, seberapa efektif gerakan ini?
Mimpi bangsa Malaysia
Jika berbicara mengenai sistem politik di Malaysia, kita berbicara mengenai sebuah keunikan, di mana Malaysia menjadi titik pertemuan antara demokrasi dan otoritarianisme. Jiri Holik pernah menyebut, yang dialami Malaysia merupakan rezim demokrasi campuran atau hybrid democracy (Holik 2011). Saat syarat-syarat demokrasi prosedural telah terpenuhi, tetapi praktik otoriter dilakukan secara dominan oleh salah satu partai politik dalam waktu yang lama. Pada perjalanan sejarah, rezim demokrasi campuran ini ternyata lebih sulit untuk ditumbangkan ketimbang otoriter absolut.
Peran United Malays Nation Organisation (UMNO) dalam pemerintahan Malaysia sangat dominan sepanjang sejarah politik di negara tersebut. UMNO tidak hanya menjadi kekuatan politik terbesar di Malaysia, tetapi juga menguasai sejumlah sektor publik, seperti media, ekonomi, konglomerasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan rezim otoriter di Asia Tenggara lainnya yang bertumpu pada satu figur, kekuatan UMNO adalah pada mekanisme regenerasi yang sukses dalam menciptakan politisi-politisi baru dari generasi ke generasi.
Kepemimpinan UMNO yang dominan menuai kritik besar dari rakyat Malaysia. UMNO dinilai tak hanya terlalu dominan, tetapi juga otoriter, korup, dan menjalankan politik sektarian bangsa Melayu yang diskriminatif. Keadaan tersebut telah mendorong mimpi bangsa Malaysia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, adil, dan demokratis.
Dalam sejarah, Gerakan Bersih bukan satu-satunya aksi rakyat Malaysia turun ke jalan untuk menuntut agar demokrasi diterapkan. Pada Mei 1969, pernah terjadi kerusuhan komunal di Kuala Lumpur, yang dinamakan Peristiwa 13 Mei. Latar peristiwa itu, pengekangan kebebasan berekspresi untuk merayakan keberhasilan oposisi meraih suara yang signifikan. UMNO sebagai partai terbesar saat itu tidak mau membiarkan perayaan ini jadi besar. Alhasil, muncul bentrokan antara massa pro UMNO yang mayoritas bangsa Melayu dan massa pro oposisi yang banyak diikuti etnis Tionghoa-Malaysia.
Pada 1998, Malaysia ikut serta meneriakkan demokratisasi ketika gelombang tersebut mewabah di beberapa negara di Asia Tenggara. Demonstran turun di jalan-jalan Kuala Lumpur menuntut pembersihan korupsi di pemerintahan melalui gerakan bertajuk ”Adil”. Namun, UMNO di bawah komando Mahathir Mohamad memadamkan gerakan itu melalui kriminalisasi tokoh oposisi Anwar Ibrahim dan mengonsolidasikan kekuatan penopang pemerintahan.
Beberapa peristiwa sejarah tersebut menunjukkan bahwa tuntutan demonstrasi Malaysia selalu menemukan kegagalan dan juga berakhir dengan kekerasan. Hal ini menegaskan bahwa kasus di Malaysia sangat berbeda dengan Reformasi 1998 di Indonesia dan gerakan ”People Power” di Filipina. Salah satu yang membedakan adalah keberhasilan keorganisasian UMNO dalam menurunkan nilai-nilai politiknya ke kader-kadernya dan menciptakan mekanisme organisasi politik yang kuat.
Beberapa hambatan
Menuntut pemerintahan bersih di Malaysia tidak cukup hanya dengan menuntut perdana menteri mundur. UMNO bukanlah partai milik figur tertentu. Pengaruh UMNO sejak tahun 1950 telah menciptakan sebuah nilai politik yang khas di Malaysia. Sejarah mencatat, beberapa kali kader bermental pembaru di UMNO, seperti Onn Jafaar dan Anwar Ibrahim, malah terlempar keluar dari UMNO danmendirikan partai baru.
Keberadaan mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad di antara demonstran Bersih 5.0 menguatkan argumentasi tersebut. Mahathir kini harus berhadapan dengan partai yang dahulu membesarkannya. Upaya ini sebagai bentuk konflik pribadi antara Najib dan Mahathir yang meruncing beberapa tahun belakangan. Melalui UMNO, Najib melakukan demahathirisasi dengan melarang Mahathir tampil di media-media elektronik. Masalah kedua, kepercayaan sebagian rakyat Malaysia yang cukup tinggi terhadap pemerintahan UMNO. Menurut lembaga survei Merdeka Center, pada 2015 persepsi mayoritas masyarakat usia 21 tahun ke atas justru menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap aksi Bersih 4.0 saat itu (47 persen berbanding 43 persen). Ketidaksetujuan mereka mayoritas justru didasarkan pada ketakutan akan kekerasan yang bisa terjadi akibat aksi ”bersih” (52 persen) dan ketidakpercayaan terhadap efektivitas aksi ”bersih” (22 persen).
Kunci keberhasilan UMNO adalah kombinasi dari kisah kesuksesan dan ancaman ketakutan pada hantu demokratisasi. Keberhasilan UMNO untuk mengelola krisis ekonomi 1998 menjadi nilai tambah tersendiri, ditambah dengan kinerja perekonomian Malaysia yang terus membaik pasca krisis. Para pendukung UMNO yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan ditopang oleh narasi superioritas etnis Melayu akan mempertaruhkan zona nyaman mereka dengan demokratisasi. Ketakutan ini lagi-lagi akan bermuara pada sebuah persimpangan: apakah demokrasi membawa kemakmuran lebih besar atau kemunduran terhadap kesejahteraan.
Bagi bangsa Malaysia, mimpi tersebut harus tetap dimimpikan dan disebarkan agar jadi mimpi kolektif bersama. Membuat demokrasi berjalan di Malaysia tidak sama dengan mematikan UMNO, tetapi membuat tekanan bagi UMNO untuk berpikir pentingnya prinsip transparansi dan kebebasan dalam pemerintahan. Saat ini, demokrasi masih menjadi impian bagi kaum urban kota, tetapi menjadi kata yang asing bagi masyarakat pedesaan. Jika gelombang ini bisa masif bergerak ke seluruh negeri dan oposisi masih dibiarkan hidup, bangsa Malaysia masih memiliki sambungan napas untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Namun, jika tidak, hal tersebut sama saja seperti menegakkan benang basah.
Refleksi bagi Indonesia
Harus diakui, Indonesia sudah selangkah di depan dalam penegakan prinsip-prinsip demokrasi. Pada tingkatan ini, Indonesia sudah berada di posisi mewujudkan substansi dari demokrasi itu sendiri dan melewati fase di mana demokrasi hanya ada dalam tataran prosedural.
Jika hampir seluruh masyarakat di negara Asia bermimpi untuk bisa menyamai kualitas demokrasi Indonesia, bagi elemen masyarakat Indonesia, pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana agar demokrasi tidak lagi berjalan mundur ke belakang dengan isu-isu komunal sektarian, komitmen penegakan hukum dan etnisitas. Infrastruktur hukum dan demokrasi Indonesia sudah terbentuk dengan baik meski dengan sejumlah catatan. Namun, catatan tersebut dapat diperbaiki jika kaki demokrasi di negeri ini mampu melangkah ke arah yang benar.
Berkaca dari Indonesia, masa depan Malaysia saat ini berada di dalam dua genggaman bersama, yaitu rakyat Malaysia dan UMNO. Sinergi keduanya merupakan sintesis yang dahsyat untuk masa depan Malaysia. Namun, sinergi itu tidak akan berjalan tanpa sebuah prasyarat: demokrasi. Semoga sukses, Pakcik!