Tanggal 13 Oktober 2016, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej wafat pada usia 88 tahun. Duka dirasakan oleh masyarakat Thailand atas kepergian raja yang telah duduk di singgasananya sejak 5 Mei 1950 itu. Selain sebagai raja, semasa hidupnya raja Bhumibol juga dikenal sebagai katalis dalam perpolitikan Thailand, terutama saat memasuki fase kritis. Lalu, pertanyaan besarnya adalah bagaimana masa depan politik Thailand setelah wafatnya raja?
Bhumibol dan demokrasi
Sistem demokrasi di Thailand merupakan sistem demokrasi yang unik dengan segitiga raja, militer dan sipil di setiap sisinya. Tarik-menarik antara ketiga sisi tersebut sering kali membuat bandul dinamika politik di Thailand mengayun dengan cepat sesuai pergantian kekuatan di setiap sisinya, terutama pada sipil dan militer. Dalam hal ini, sisi ketiga, yaitu raja menjadi faktor penting, terutama dalam mengembalikan stabilitas demokrasi di Thailand ketika memasuki fase krisis.
Sosok individu raja dalam politik sangatlah dominan. Kepemimpinan Raja Bhumibol, baik secara kultural maupun politik beberapa kali menghentikan serangkaian kekerasan politik. Kekuatan posisi kultural dan politik raja dan ditambah dengan sosok Bhumibol yang kharismatik, menjadi kombinasi kuat dalam menyeimbangkan kekuatan-kekuatan politik di Thailand.
Raja Bhumibol sering menjadi penengah ketika ketegangan pada kedua sisi lainnya dalam segitiga demokrasi Thailand menjadi tinggi. Pada 1992 ketika terjadi Black May Massacre, yang mengakibatkan tewasnya ratusan aktivis pro-demokrasi oleh militer, Raja melakukan intervensi dengan memanggil petinggi militer Jenderal Suchinda untuk mengakhiri kekerasan. Hal tersebut menjadi titik balik kekuasaan sipil terhadap Thailand hingga tahun 2006.
Kritikan utama justru terletak pada sistem politik Thailand, yang menjadikan campur tangan unsur militer dan kerajaan yang terlalu besar pada mekanisme demokrasi. Hal ini mengakibatkan demokrasi khas Thailand yang tidak pernah mencapai kestabilan supremasi sipil dalam jangka waktu yang lama. Sejak tahun 1932, pemerintahan sipil yang dipilih oleh rakyat, dinilai hanyalah sebuah formalitas karena kekuatan yang lebih besar secara informal dipegang oleh militer, yang didukung oleh pihak kerajaan.
Secara struktur politik, posisi kuat militer karena doktrin militer Thailand sebagai penjaga kerajaan dan masa depan politik. Hal tersebut membuat legitimasi militer untuk turut campur dalam politik besar. Apalagi, jika dianggap menjadi ancaman bagi eksistensi militer dan keluarga kerajaan.
Kritikan terhadap pribadi raja menjadi menguat ketika dihadapkan pada fakta bahwa kepentingan keluarga kerajaan, menjadi sumber atas kekacauan demokrasi di Thailand. Adanya hukum “Lese Majeste” di Thailand memungkinkan rakyat dipenjara jika mengkritik raja, membuat kerajaan menjadi institusi yang seolah tak tersentuh. Nuansa kepentingan yang kental juga terasa saat kerajaan tidak melakukan intervensi saat krisis politik di Thailand tahun 2006. Raja menganggap bahwa Thaksin sudah menjadi ancaman bagi kerajaan, dengan berbagai upaya mendesakralisasi kerajaan dan mengancam eksistensi ekonomi. Sehingga raja mendukung kudeta untuk kembali membuat pemerintahan militer pasca-2006.
Tantangan pascawafat
Menurut aturan di kerajaan, maka yang menjadi pengganti mendiang Raja Bhumibol adalah putra mahkotanya, Maha Vajiralongkorn. Tugas utama raja baru cukup berat, mengingat kecakapan ayahnya dalam menyeimbangkan kekuatan politik domestiknya. Sosok karismatik ayahnya diharapkan dibawa oleh raja baru Vajiralongkorn untuk menggiring stabilitas politik Thailand ke arah yang lebih baik.
Paling tidak ada tiga tantangan utama raja baru dalam politik di Thailand. Pertama adalah mengembalikan kepercayaan publik pada raja pascawafatnya Raja Bhumibol. Faktor utama yang juga menjadi kekuatan utama Raja Bhumibol dalam menyeimbangkan kekuatan adalah kepercayaan rakyat Thailand terhadap istana. Istana menjadi tempat berlindung jika terjadi kekerasan politik.
Sosok putra mahkota Vajiralongkorn merupakan sosok yang sangat berbeda terhadap ayahnya. Rakyat tidak menyukai sikapnya yang glamor, suka foya-foya, dan gemar berganti-ganti pasangan. Jika ketidakpercayaan rakyat terhadap raja terus dibiarkan, sama saja membiarkan masa depan politik Thailand berada di bawah ancaman kekerasan dan kekacauan.
Kedua, pascawafatnya raja, stabilitas menjadi prioritas utama. Dapat dipastikan kekuatan politik terutama militer masih akan mencengkeram dalam perpolitikan. Untuk itu, putra mahkota juga diharapkan mampu untuk merangkul sosok kunci dalam perpolitikan Thailand yang berada di dekatnya agar bisa stabil. Sosok-sosok kunci militer, seperti mantan perdana menteri Jenderal Prem Tinsulanonda, Perdana Menteri Prayut Chan 0cha, dan beberapa perwira tinggi militer lainnya. Kedekatan personal putra mahkota terhadap mantan PM Thaksin Shinawatra, yang dapat menjadi batu sandungan harus direspons dengan serius oleh putra mahkota Vajiralongkorn.
Ketiga, dalam jangka panjang Thailand harus mampu menjawab tantangan dunia internasional, sebagai negara demokrasi dengan penegakan hak sipil-politik penuh atas masyarakat sipil. Di sinilah arena yang menjadi pembeda antara putra mahkota Vajiralongkorn dan mendiang ayahnya. Dengan kekuatan kultural kerajaan, peran kerajaan sebagai katalis dalam penegakan hak-hak sipil menjadi pekerjaan rumah untuk masa depan. Raja dan militer harus mampu melepaskan diri dari politik praktis untuk bisa mengikuti beberapa negara lain, yang dapat menyelaraskan antara demokrasi atas nama sipil dan kesakralan monarki.
Transisi ini menjadi persimpangan jalan bagi Thailand untuk berjalan ke arah monarki penuh atau berjalan menuju demokrasi. Atau bahkan tidak mau melangkah dan tetap diam? Silakan kita menyaksikan episode tiap episode Thailand di bawah kepemimpinan Raja Maha Vajiralongkorn.