Inspirasi Kepemimpinan Perempuan yang Inklusif dari Wali Kota Banda Aceh
Yogyakarta – Program Studi Hubungan Internasional (PSHI) Universitas Islam Indonesia, menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Masa Depan Kepemimpinan Perempuan di Indonesia” pada Kamis (7/8) bertempat di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan Ibu Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh dan dimoderatori oleh Dosen PSHI UII Ibu Derina Faslig Silitonga yang memiliki konsentrasi bidang studi gender.
Pada kuliah umum ini, Ibu Illiza berbagi pandangan kritis mengenai tantangan dan peluang kepemimpinan perempuan, khususnya di ruang publik dan politik. “Kepemimpinan perempuan di Indonesia masih menghadapi beragam hambatan, baik struktural maupun kultural. Di Aceh, situasi ini semakin kompleks akibat tekanan budaya dan interpretasi patriarki terhadap syariat, yang kerap mempersempit ruang gerak perempuan dalam kepemimpinan,” jelas Ibu Illiza dalam pemaparannya.
Forum akademik ini menjadi ruang penting bagi mahasiswa untuk mengasah pemikiran kritis mengenai realitas sosial-politik tersebut. Diskusi difokuskan pada bagaimana mahasiswa dapat berperan aktif dalam mendorong perubahan menuju masyarakat yang inklusif dan berkeadilan gender. Hal ini sejalan dengan komitmen global melalui Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-5 tentang Gender Equality.
Ibu Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh
Tak hanya itu, Ibu Illiza juga menjelaskan mengenai tantangan umum dan khusus yang dihadapi perempuan dalam politik, data statistik partisipasi perempuan pada Pilkada dan Pileg 2024, serta kisah sukses dari sejumlah tokoh nasional dan pahlawan Aceh. Diskusi juga menyoroti pentingnya reformasi sistemik dan program strategis berbasis inklusi gender agar partisipasi perempuan dapat terus meningkat secara substansial.
Di Banda Aceh, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan tercatat mencapai 54%, namun jabatan strategis masih didominasi oleh laki-laki. Menurut Ibu Illiza, hambatan utama kepemimpinan perempuan di Aceh mencakup interpretasi syariat yang cenderung patriarkal, tekanan budaya terhadap pemimpin perempuan, resistensi elit politik terhadap kepemimpinan inklusif, serta beban ganda yang menuntut perempuan “berhasil dan beradab”. Ia menegaskan adanya standar moral yang lebih ketat bagi perempuan dibanding laki-laki.
“Harapan saya adalah adanya reformasi struktural di partai dan birokrasi, pendidikan politik sejak usia remaja, serta kolaborasi lintas generasi dan lintas nilai. Melalui hal tersebut kita bisa membangun kepemimpinan perempuan yang inklusif dan berkelanjutan,” pungkas Ibu Illiza.