Pamungkas Dewanto di harian Kompas edisi 12 Februari 2018 menulis mengenai politik yang menjemukan di Indonesia ini karena keseragaman logika tindakan politik, terutama di daerah. Dalam artikel itu, Pamungkas berpendapat bahwa politik transaksional sudah menjalar sampai ke level masyarakat paling bawah di perdesaan.
Hal ini disebabkan wabah pragmatisme yang melanda masyarakat dan politisi di tingkat lokal. Menurut Pamungkas, jika hal ini dibiarkan, akan menyebabkan masyarakat menjadi abai pada kualitas demokrasi itu sendiri. Di sisi lain, saya menggarisbawahi hal tersebut justru banyak disebabkan adanya sekat-sekat pemikiran yang dibentuk oleh negara pada masa lalu dan terus direproduksi oleh masyarakat sendiri. Salah satu indikasinya adalah muatan kampanye yang minim muatan ideologis.
Di Indonesia, hampir setiap tahun adalah tahun politik. Kalau tak ada pilkada pada tahun itu, wujud politisasi di ruang publik terjadi untuk mempersiapkan pemilu mungkin dalam setahun, dua tahun, atau bahkan empat tahun ke depan. Sayangnya, isi janji politik seorang calon tidak menarik untuk dibahas secara akademis, bahkan menjadi bahan canda karena dianggap tidak masuk akal.
Janji kampanye para calon tak lepas dari masalah kesejahteraan masyarakat. Hampir semua calon memberikan janji kampanye dalam hal pendidikan gratis, pelayanan kesehatan murah, penstabilan harga komoditas, pemberian kredit yang mudah, hingga pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Keseragaman narasi itu sangat terasa pada semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah, bahkan hingga calon presiden. Hampir sulit ditemukan perbedaan ide antara satu calon dan calon lain. Jika ada perbedaan, hal itu berada dalam lingkup teknis, bukan dalam garis ideologi.
Proses pemilu merupakan pertarungan antara aspek ideologi dan juga figur individu sehingga perdebatan yang dihasilkan dalam proses kampanye merupakan diskusi yang produktif, terutama untuk sintesis ide-ide bagi kemajuan bangsa. Namun, dalam demokrasi elektoral di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Pertarungan gagasan cenderung lesu karena sulit menemukan diferensiasi antarkandidat.
Keseragaman narasi kampanye ini menimbulkan dua dampak yang terasa, baik dampak elektoral maupun pembangunan. Dalam dampak elektoral, kecacatan itu menimbulkan apatisme masyarakat atas proses pemilu yang ada. Sementara antusiasme masyarakat didasarkan pada euforia fanatisme dalam iklim kompetisi ketimbang penilaian terhadap kedalaman visi dan misi (Kompas, 25 Juni 2014).
Hal inilah yang menjadi lubang perangkap stagnasi pembangunan bangsa. Indikator yang paling nyata adalah masalah kemiskinan yang terus-menerus menjadi berita di halaman surat kabar. Kemampuan para politisi dalam menyintesiskan ide-ide pembangunan terbentur dengan keterbatasan wawasan masyarakat mengenai ide-ide pembangunan. Solusi pembangunan hanya direduksi menjadi masalah penurunan biaya fasilitas dasar kehidupan dan infrastruktur material. Dalam konteks seperti ini, akan sangat sulit menemukan sebuah terobosan pemikiran.
Bentukan sejarah
Hasil analisis penulis, pembentukan fenomena di atas justru berasal dari narasi sejarah yang dibentuk oleh bangsa ini sendiri. Imajinasi dua kutub besar pemikiran pembangunan, sosialisme dan liberalisme, justru dikebiri oleh mitos-mitos sejarah bentukan masa lalu.
Ide liberalisme sudah menjadi momok dalam masyarakat sejak slogan-slogan nasionalisme didengungkan sejak tahun 1950-an. Di sisi lain, pengembangan ide-ide berbasis sosialisme dimatikan sejak pemerintahan Orde Baru naik takhta pada paruh kedua 1960-an. Sementara itu, pemikiran alternatif justru belum mampu menemukan signifikansinya dalam dunia kontemporer, terutama menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Hal itu membentuk pemikiran masyarakat Indonesia secara kolektif. Bagi masyarakat kita, mengikuti ide-ide sosialisme adalah sebuah dosa besar yang pantas untuk diberangus bahkan dilabeli anti-Pancasila. Namun, di sisi lain, mengaplikasikan ide-ide mengenai kebebasan mengundang kemarahan masyarakat. Dalam sebuah kesempatan dapat dimungkinkan seseorang dilabeli dosa sebagai sosialis-komunis, tetapi pada saat yang sama juga dilabeli sebagai liberal-kapitalis. Para pengikut gerakan alternatif justru malah terjebak pada dua jalan buntu: politik identitas atau romantisisme masa lalu.
Ancaman-ancaman tersebut mengakibatkan politisi menjadi takut berpikir di luar batas-batas yang sudah dibentuk oleh dinding sejarah. Pengupasan ide-ide sosialisme dan liberalisme hanya dilakukan di ruang- ruang pendidikan dan hampir tidak mungkin diaplikasikan di dalam ranah politik praktis.
Penyeragaman pola berpikir dan ideologi ini diinstitusionalkan dalam asas dan ideologi partai politik yang seragam. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila sejak tahun 1985 meninggalkan warisan yang mendalam pada ideologi parpol saat ini. Akibatnya, bangsa ini tidak melalui proses berpikir dialogis dalam membaca fenomena sosial seperti negara demokrasi yang telah mapan.
Dengan adanya penyeragaman ini, masyarakat telah menjebak dirinya sendiri pada situasi stagnasi. Situasi yang menjadi lingkaran setan jika kemampuan berpikir kolektif masyarakat tidak mampu dihidupkan kembali. Tradisi pemikiran dialogis yang sempat hidup pada awal pembentukan bangsa ini telah kehilangan tempatnya dan digantikan oleh pragmatisme strategi-strategi pemenangan jangka pendek.
Jika berbicara mengenai peran negara, maka—menurut saya—sudah terlambat karena logika politik yang sudah diproduksi pada masa lalu telah membekas dan terus-menerus tertanam di masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat atas kompleksitas sejarah dan fungsi ideologi harus kembali diluruskan jika mau mengembalikan politik dalam fungsi sebenarnya. Jika tidak, maka hanya akan ada dua akhir: stagnasi atau tenggelam.