Jangan pernah bandingkan perkembangan ilmu sosial di negara kita dengan negara tetangga karena kita tidak akan bisa menyamai capaian mereka di ilmu sosial. Singapura, misalnya, sudah menjadi simpang penting pertemuan antara alam akademis Barat dan alam akademis Asia. Di Singapura bercokol peneliti bereputasi internasional dari berbagai negara sehingga kita mudah menemukan pemikiran-pemikiran sosial politik terutama terkait Asia Tenggara. Sementara di negeri ini, para peneliti sosial masih berjuang menemukan pengertian apa itu “penelitian berkualitas”. Apakah masalah ini merupakan masalah individu? Saya kira tidak. Ilmuwan sosial Indonesia banyak yang memiliki prestasi akademik yang baik ketika mereka berada di luar negeri: entah menempuh pendidikan atau berkarier. Namun, prestasi itu seakan tenggelam justru ketika mereka kembali ke Indonesia.
Banyak dari mereka yang tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya sebagus saat mereka di luar negeri dan hanya besar di meja televisi sebagai pengamat sosial politik. Saya menduga bahwa kenyataan ini bukanlah masalah individu. Sebaliknya, saya menduga ada problem yang lebih besar dalam manajemen ilmu pengetahuan di negara kita yang dikomandoi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Masalah struktural
Jika disederhanakan, hal itu bermuara pada masalah struktural, masalah birokrasi, dan masalah moral. Ketiga masalah inilah yang terakumulasi mengakibatkan ilmuwan sosial kita menjadi tidak mampu mendayagunakan kreativitasnya dalam pengembangan ilmu sosial.
Masalah pertama adalah masalah struktural. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa ilmu sosial dianaktirikan dibandingkan dengan ilmu pasti. Ilmu sosial sering kali dianggap ilmu abstrak, yang kontribusi terhadap masyarakat acap kali dipertanyakan. Apabila dibandingkan dengan rumpun sains dan teknologi, produk-produk temuan dari ilmu sosial tidaklah terlihat. Alih-alih menghasilkan produk, ilmu sosial justru dinilai hanya menghasilkan sebuah pemikiran yang banyak mengundang perdebatan. Tentu saja jadi tidak adil membandingkan sebuah robot dengan sebuah pemikiran jika diukur kontribusinya saat ini, tetapi tidak dalam jangka panjang. Kita seharusnya tak lupa bahwa ancaman perang, perubahan zaman, sampai sistem politik merupakan buah dari pemikiran sosial. Sayangnya pemikiran tersebut banyak yang lahir dari kacamata Barat. Sarjana kita baru sebatas meminjam teori dan konsep dari Barat untuk diaplikasikan ke konteks Indonesia: ada yang berhasil, ada juga yang belum berhasil. Namun, di sinilah tantangan utama ilmu sosial, yaitu menghasilkan pemikiran yang lahir dari konteks Indonesia dengan memakai kacamata Indonesia sebagai solusi masalah-masalah sosial di negara ini.
Alih-alih menempatkan ilmu sosial dan ilmu pasti dalam posisi yang sejajar, kebijakan-kebijakan pemerintah justru mengebiri perkembangan ilmu sosial. Yang terakhir adalah kebijakan pemerintah untuk memotong jatah beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk pascasarjana ilmu sosial-humaniora atas alasan yang tidak bisa dipahami: sudah banyak dan prioritas pada sains dan teknologi. Tentu ini adalah salah satu dari ratusan contoh bagaimana ilmu sosial tidak diletakkan sejajar dengan sains dan teknologi.
Masalah birokrasi
Masalah kedua adalah masalah birokrasi. Masalah ini tidak hanya terbatas pada ilmu sosial saja, tetapi juga masalah umum pada sistem pendidikan tinggi di negara ini. Beban kerja yang besar pada pekerjaan-pekerjaan administratif nonriset membuat banyak ilmuwan menjadi tidak produktif. Seorang dosen bergelar doktor ilmu sosial di sebuah universitas swasta di Yogyakarta pernah menunjukkan kepada penulis betapa waktunya tersita pada pekerjaan nonakademis. Sebagai seorang dosen profesional, ia mendapat beban mengajar yang cukup tinggi. Sebanyak 16-20 SKS harus dia penuhi dalam satu semester, berikut pekerjaan tambahan lainnya sebagai tim di dalam universitas, semisal tim akreditasi program studi, tim persiapan pembukaan program studi, sampai pekerjaan administratif kecil yang memakan waktu (laporan kinerja, laporan pengabdian masyarakat, permohonan pengajuan pangkat, hingga undangan menjadi pembicara di banyak tempat). Sulit mengharapkan produktivitas berkualitas dari seorang akademisi yang hanya memiliki waktu membaca dan menulis paling banyak satu hari dalam satu minggu bekerja. Hal ini merupakan sebuah hambatan birokratis yang semestinya dapat diatasi bersama, terutama oleh Kemenristek dan Dikti yang memiliki otoritas membuat aturan soal beban administratif.
Masalah moral
Masalah ketiga adalah masalah moral dalam ilmu sosial. Sejak 1965 (bahkan mungkin sebelum itu) ada fenomena anti-intelektualitas dalam masyarakat kita. Dimulai dari pelarangan mempelajari teori-teori sosial tertentu hingga ketidaksiapan masyarakat pada umumnya dalam melihat obyektivitas dan relativitas ilmu sosial. Di masa Orde Baru, teori-teori Marxis dipandang sebagai teori terlarang yang dilembagakan dalam aturan TAP MPRS No 25/1966. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk ikut serta melarang pembelajaran Marxisme di dalam kelas, baik sebagai teori sosial maupun ideologi. Para sarjana yang memiliki pemikiran Marxis dilabeli radikal, komunis, subversif, bahkan ateis.
Tidak heran apabila perdebatan sebagai metode utama perkembangan ilmu sosial menjadi lesu. Masyarakat tidak bisa menerima perdebatan atas obyektivitas ilmu sosial adalah sebuah hal yang seharusnya terjadi. Dalam obyektivitas ilmu sejarah, misalnya, masyarakat sulit menerima narasi alternatif sejarah yang dihasilkan dari penelitian yang obyektif, terutama dalam tema-tema yang sensitif: perjuangan kemerdekaan dan narasi antikomunis. Dalam situasi seperti ini, sangat sulit mengharapkan tanaman ilmu sosial dapat tumbuh subur di tanah yang kering, terutama kering keterbukaan. Alih-alih menghasilkan pemikiran alternatif, ilmuwan kita akan menghindarinya atau bahkan menyembunyikannya. Jika sudah begini, bermimpi untuk menjadi Singapura pun kita akan takut.