Kemerdekaan Nasional dan Kemerdekaan Diri
Ditulis oleh Irawan Jati
Tanggal 17 Agustus, bagi Masyarakat Indonesia merupakan hari sakral yang dirayakan setiap tahun. Agenda tahunan yang biasa disebut dengan Agustusan ini dirayakan dengan gegap gempita di seluruh penjuru Indonesia. Perayaan tersebut lazimnya dimulai dengan berupa upacara bendera wajib. Kemudian diteruskan dengan selebrasi kerakyatan, seperti lomba panjat pinang dan balap karung, dan lainnya.
Tanggal tersebut sakral paling tidak karena dua hal. Pertama, menjadi penanda wangsa kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Deklarasi kemerdekaan Indonesia di tanggal tersebut secara formal membebaskan Indonesia dari subjugasi dan eksploitasi kekayaan bangsa. Kedua, menjadi penanda kemandirian untuk menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa. Pernyataan kemerdekaan menuntut ‘kelayakan’ Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Indonesia harus membuktikan kemampuannya menjadi negara yang mandiri karena sudah terlepas dari penjajahan. Selain itu, Indonesia juga harus membuktikan diri untuk tidak berpihak pada dua kutub kekuatan dunia pada era Perang Dingin. Namun, kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus itu apakah hanya bermakna kemerdekaan Indonesia sebagai negara?
Di luar makna kemerdekaan sebagai kemerdekaan yang makro, terdapat makna kemerdekaan mikro yang tidak kalah penting. Kemerdekaan ini adalah kemerdekaan individu sebagai manusia. Dalam Islam, kemerdekaan manusia dapat bermakna kemerdekaan diri dari penghambaan pada selain Allah yang maha Esa atau yang disebut bebas dari perbudakan spiritual. Surat Al Ikhlas menjadi sandaran Muslim untuk kemerdekaan ini.

- Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah Yang Maha Esa’
- Allah tempat meminta segala sesuatu
- Allah tempat meminta segala sesuatu
- Serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya
Makna lainnya yaitu kemerdekaan dari kungkungan manusia dan gemerlap duniawi. Kemerdekaan model ini justru kadang luput dari indra manusia (Muslim), padahal sangat mendasar. Untuk bebas dari kungkungan manusia atau orang lain, mungkin lebih ‘mudah’ dilakukan. Tetapi, menjadi bebas merdeka dari gemerlap duniawi, mungkin lebih sulit. Rasullullah Muhammad SAW sendiri sangat memahami ini, sehingga menyabdakan keseimbangan antara kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi.
Dari Anas R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah orang yang baik ketika meninggalkan urusan dunia demi kepentingan akhirat saja maupun ketika meninggalkan urusan akhirat demi kepentingan dunia saja, sebab harus tetap memperoleh keduanya itu. Karena kehidupan dunialah yang akan mengantar menuju akhirat. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menjadi beban bagi orang lain”. (H.R. Ibnu ‘Asakir).
Sifat keseimbangan, tidak ‘fanatik’ pada salah satu dari model kehidupan itu merupakan jalan tengah untuk mencapai kebahagiaan hidup. Namun demikian, setiap manusia punya kebebasan memilih. Tentu pilihan yang diambil tersebut memiliki konsekuensi masing-masing.





